"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman,
agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,.." <Q. S. An-Nur
(24):31>
بِسْــــــــــــــــــمِ
اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Dalil Keharaman Musik
Ketahuilah bahwa mendengarkan musik, nyanyian, atau lagu
hukumnya adalah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُوْنَنَّ
مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ…
“Benar-benar akan ada segolongan dari umatku yang
menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa musik adalah haram menurut
syari’at Islam. Hal yang menguatkan keharaman musik dalam hadits tersebut
adalah bahwa alat musik disandingkan dengan hal lain yang diharamkan yaitu
zina, sutra (diharamkan khusus bagi laki-laki saja), dan khamr.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْتَرِى لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ
عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
ilmu.” (Qs. Luqman: 6)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan jumhur ulama tafsir
menafsirkan kata “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian
atau lagu. Ibnu Katsir rahimahullah juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan
dengan keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari
(mendengarkan) Al Qur’an, malah beralih mendengarkan musik dan nyanyian.
Maka sangatlah tepat jika nyanyian disebut sebagai perkataan
yang tidak berguna karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang
tercela ataupun tidak mengandung manfaat, dapat menimbulkan penyakit hati, dan
membuat kita lalai dari mengingat Allah.
Mengenal Nasyid
Orang-orang Arab pada zaman dahulu biasanya saling
bersahut-sahutan melemparkan sya’ir. Dan sya’ir mereka ini adalah sebuah
spontanitas, tidak berirama dan tidak pula dilagukan. Inilah yang disebut
nasyid. Nasyid itu meninggikan suara dan nasyid merupakan kebudayaan orang
Arab, bukan bagian dari syari’at Islam. Nasyid hanyalah syair-syair Arab yang
mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan
kedermawanan.
Nasyid tidaklah haram secara mutlak dan tidak juga
dibolehkan secara mutlak, tergantung kepada sya’ir-sya’ir yang terkandung di
dalamnya. Berbeda dengan musik yang hukumnya haram secara mutlak. Ini karena
nasyid bisa saja memiliki hikmah yang dapat dijadikan pembelajaran atau
peringatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara sya’ir itu ada hikmah.” (Riwayat
Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 6145, Ibnu Majah no. 3755, Imam Ahmad
(III/456, V/125), ad-Daarimi (II/296-297) dan ath-Thayalisi no. 558, dari jalan
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu)
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
tentang sya’ir, maka beliau bersabda,
“Itu adalah perkataan, maka sya’ir yang baik adalah baik,
dan sya’ir yang buruk adalah buruk.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad,
dan takhrijnya telah diluaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Hadits
ash-Shahihah no. 447)
Nasyid Pada Zaman Dahulu
Orang-orang pada zaman dulu biasa membakar semangat
berperang dengan melantunkan sya’ir-sya’ir. Dan banyak pula orang-orang asing
di antara mereka yang hendak berhaji melantunkan sya’ir tentang ka’bah,
zam-zam, dan selainnya ketika berada di tengah perjalanan. Abdullah bin Rawahah
pun pernah melantunkan sya’ir untuk menyemangati para shahabat yang sedang
menggali parit ketika Perang Khandaq. Beliau bersenandung,
“Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka
ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” Kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya
dengan senandung lain, “Kita telah membai’at Muhammad, kita selamanya selalu
dalam jihad.” (Rasa’ilut Taujihat Al Islamiyah, I/514–516)
Akan tetapi, para sahabat
Nabi tidak melantunkan sya’ir setiap waktu, mereka melakukannya hanya
pada waktu-waktu tertentu dan sekedarnya saja, tidak berlebihan. Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Sesungguhnya penuhnya rongga perut salah seorang di antara
kalian dengan nanah itu lebih baik baginya daripada penuh dengan sya’ir.”
(Riwayat Imam Bukhari no. 6154 dalam “Bab Dibencinya Sya’ir yang Mendominasi
Seseorang, Sehingga Menghalanginya Dari Dzikir Kepada Allah”, ‘Ilmu dan
al-Qur’an, diriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Maksud dari riwayat di atas adalah kecenderungan hati
seseorang kepada sya’ir-sya’ir sehingga menyibukkannya dan memalingkannya dari
kesibukan dzikrullah dan mentadabburi al-Qur’an, itulah orang-orang yang
dikatakan sebagai orang dengan rongga perut yang penuh dengan sya’ir. (Fat-hul
Baari X/564)
Nasyid Pada Zaman Sekarang
Nasyid yang ada pada zaman sekarang tidak jauh berbeda
dengan nyanyian dan musik yang telah jelas keharamannya. Berbeda dengan zaman
dahulu, sya’ir-sya’ir mulai dilagukan dan mengikuti kaidah/aturan seni musik,
sehingga menjatuhkan pelakunya kepada bentuk tasyabbuh (menyerupai) kepada
orang-orang kafir dan fasik. Ditambah lagi, kelompok nasyid yang belakangan
didominasi oleh kaum laki-laki ini menambahkan alat musik sebagai ‘pemanis’ di
dalamnya.
Kelompok-kelompok nasyid pada zaman sekarang yang mengaku
mencintai Allah dan Rasul-Nya, mereka ingin menggeser kesukaan para pemuda
terhadap lagu-lagu dan musik yang tidak Islami kepada lagu-lagu dan musik yang
mereka labelkan “Islami”. Bahkan, acara-acara rohis di sekolah-sekolah dan
kampus-kampus pun hampir tidak pernah sepi dari nasyid. Seolah hal ini
merupakan pembenaran terhadap nasyid.
Sebagian orang beranggapan bahwa nyanyian/musik yang
diharamkan adalah nyanyian yang liriknya tidak islami. Sedangkan untuk “musik
islami’ atau “nasyid” maka tidak mengapa, bahkan nasyid dapat membangkitkan
semangat dan sebagai sarana ibadah dan dakwah karena lagu-lagu tersebut
menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.
Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa beribadah dengan
sya’ir dan bernasyid sebagai bentuk dzikir, do’a dan wirid adalah bid’ah. Dan
ini lebih buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdo’a dan
berdzikir. (Tash-hiidud Du’aa hal. 78)
Tentang masalah ini, Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata,
“Penyebutan dengan nama ini (nasyid Islami) sama sekali tidak benar. Itu
merupakan penamaan baru. Di seluruh kitab para salaf ataupun pernyataan para
ulama tidak ada nama nasyid Islami. Yang ada, bahwa orang-orang sufi
menciptakan lagu-lagu yang dianggap sebagai agama, atau yang disebut dengan
sebutan as-sama’.”
Dari penjelasan Syaikh Shalih Al Fauzan di atas, jelaslah
bahwa nasyid bukanlah ajaran Islam dan tidak boleh dinisbatkan kepada Islam.
Seandainya nasyid merupakan bagian dari Islam, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat tentu akan berlomba-lomba mengamalkannya. Akan
tetapi, adakah atsar yang menceritakan bahwa mereka radhiyallahu ‘anhum
mendendangkan nasyid?
Syubhat yang biasanya datang dari orang-orang yang
menggemari “musik Islami” (nasyid) adalah mereka berdalil bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah dibacakan syair-syair di hadapan
beliau dan beliau mendengarkannya, bahkan beliau pernah meminta shahabat untuk
membacakannya.
Jawaban untuk permasalahan ini adalah bahwa syair-syair yang
dibacakan di hadapan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam tidaklah dilantunkan
dalam bentuk paduan nada/suara dengan lirik lagu, tetapi itu hanyalah sekadar
bait-bait syair Arab yang berisi kata-kata bijak dan tamsil, penggambaran sifat
keberanian dan kedermawanan.
Para shahabat pada saat itu melantunkan syair saat melakukan
pekerjaan yang berat, seperti ketika sedang membangun, berada di medan perang,
atau melakukan perjalanan yang jauh (dengan tidak disertai alunan musik). Hal
ini menunjukkan bolehnya melantunkan jenis syair ini dan dalam kondisi-kondisi
khusus semacam itu. Tidak seperti zaman sekarang, di mana nasyid didendangkan
setiap saat, bahkan nasyid dijadikan sebagai mata pencaharian. Wal iyyaa dzu
billaah.
Berikut ini kami nukilkan fatwa dari Al ‘Allamah Hamud bin
Abdillah At-Tuwaijiri,
“Sesungguhnya sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para
pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan
dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah ajaran Islam. Sebab, hal itu telah
dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan
(gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka untuk
bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan Al Qur’an,
mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut di dalamnya
berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat mereka, serta hal-hal
lain yang bermanfaat bagi orang yang mentadabburinya dengan sebenar-benar
tadabbur, mengamalkan kandungannya, dan menjauhi larangan-larangan yang
disebutkan di dalamnya, dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, dari
ilmu dan amalannya.”
“Barangsiapa mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan
dengan lantunan nyanyian, dengan syair-syair para shahabat radhiyallahu ‘anhum
tatkala mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan
dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para shahabat atau untuk memberi
semangat kepada untanya di waktu bepergian, maka ini adalah qiyas yang batil.
Sebab para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah bernyanyi dengan
syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang…”
Bagaimana Nasyid Menjadi Bid’ah?
Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel yang telah lalu,
bahwa bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Maka, penamaan
nasyid Islami adalah perkara baru yang diada-adakan (muhdats) dan tidak ada
contoh dari Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan amalan yang
tidak ada contohnya dari Nabi, maka amalan itu tertolak.
Tidak ada satupun riwayat yang shahih yang menyebutkan
tentang pensyari’atan nasyid atau penggolongan nasyid sebagai bagian dari
agama. Adapun menjadikan nyanyian dan musik sebagai bagian dari agama adalah
pemahaman yang dimiliki oleh kaum sufi, sebagaimana telah diterangkan di atas.
Selain itu, beribadah dengan menyanyikan sya’ir adalah kebiasaan orang-orang
musyrik. Dan kaum Nashara pun menjadikan nyanyian sebagai bentuk dzikir dan
do’a mereka.
Para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam dan para Shahabat
radhiyallahu ‘anhum serta para Salafush Shalih tidak pernah bertaqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menggunakan nasyid-nasyid Islami
seperti yang ada pada zaman sekarang. Adapun sya’ir-sya’ir yang mereka
lantunkan pada waktu-waktu tertentu dimaksudkan sebagai pengobar semangat
ketika bekerja atau berperang, dan mereka tidak berlebihan dalam hal ini dan
tidak pula menjadikannya sebagai kebiasaan.
Nasyid juga bukan merupakan metode dakwah yang pernah
dilakukan oleh para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam, dan tidak pula para
Shahabat radhiyallahu ‘anhum pernah melakukannya. Seandainya nasyid itu
dikatakan sebagai metode dakwah, maka dengan begitu pelakunya telah mengatakan
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna dalam
menyampaikan risalah, karena beliau belum mengabarkan tentang berdakwah dengan
nasyid.
Sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang
mulia,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (Qs.
Al-Maaidah: 3)
Ayat di atas sebagai penjelas bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan keseluruhan risalah yang
disampaikan oleh Rabbnya melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihis salam.
Maka, apa-apa yang tidak termasuk syari’at pada hari itu, dia tidak akan
menjadi syari’at pada hari ini dan hari-hari berikutnya. Dan pada hari itu,
Allah dan Rasul-Nya tidak memasukkan nasyid sebagai syari’at Islam, maka apakah
nasyid dapat menjadi syari’at pada hari ini..?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Bid’ah lebih disukai
oleh iblis daripada maksiat, oleh
karena itu orang-orang yang menghadiri permainan atau
sesuatu yang melalaikan, dia (sendiri) tidak menganggapnya (perbuatannya
tersebut) sebagai amalan shalihnya dan tidak mengharapkan pahala dengannya
(maka itulah maksiat). Akan tetapi barangsiapa yang melakukannya dengan dasar
(keyakinan) bahwasanya itu adalah suatu jalan (untuk bertaqarrub) kepada Allah,
maka dia akan menjadikannya sebagai agama. Jika dilarang darinya, maka dia akan
seperti orang yang dilarang dari agamanya dan memandang bahwa sungguh dia telah
terputus (hubungannya) dari Allah, dan telah diharamkan bagiannya (pahalanya)
dari Allah ta’ala jika dia tinggalkan.
Tidak ada seorang pun dari para imam kaum muslimin yang
mengatakan bahwa menjadikan hal ini (nasyid-nasyid Islam atau nasyid sufi)
sebagai agama, jalan mendekatkan diri kepada Allah adalah suatu hal yang mubah.
Bahkan, barangsiapa yang menjadikan hal ini sebagai agama dan jalan menuju
kepada Allah ta’ala maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan, orang
yang menyelisihi ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.”
Perkara Buruk Akibat Nasyid Islami
“Sesungguhnya penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan
nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan
berbahaya. Di antaranya:
Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan
penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan terhadap syari’at Islam,
sekaligus pernyataan bahwa syari’at Islam belum
sempurna di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini
bertentangan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
“Pada hari ni telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Qs. Al
Ma’idah: 3)
Ayat yang mulia ini merupakan dalil yang menunjukkan
kesempurnaan agama Islam bagi umat ini. Sehingga pernyataan bahwa nasyid yang
berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan terhadap
dalil ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari ajaran Islam
kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.
2. Menisbahkan kekurangan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya. Di mana
beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjama’ah (baca:
koor) dengan lirik lagu. Tidak pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.
3. Menisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya bahwa mereka telah menelantarkan salah satu ajaran
Islam dan tidak mengamalkannya.
4. Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan
irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai ajaran Islam.
Palingkan Lisan dan Pendengaranmu dari Sesuatu yang Sia-sia
Sungguh banyak kita jumpai orang-orang yang hafal
berpuluh-puluh lagu dan nasyid, bahkan mungkin lebih dari itu. Akan tetapi,
sayangnya, hafalannya terhadap Al Qur’an sangatlah sedikit. Untuk menghafal Al
Qur’an, dia bermalas-malasan dan beralasan tidak punya kesempatan untuk itu
karena terlalu banyak kegiatan. Padahal, sering setiap harinya dia gunakan
waktunya untuk mendengarkan musik atau nasyid.
Terkadang mereka beralasan bahwa mereka mendengarkan nasyid
untuk menghibur dan menenangkan hatinya serta menghilangkan stress. Jika
pikiran mereka sedang kalut, gundah, atau sedang futur dalam iman, maka mereka
mendengarkan nasyid sebagai hiburan dan membangkitkan keimanannya. Padahal,
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
أَوَلَمْ
يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى
لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam
(Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Al Ankabut: 51)
Syaikh Ibnu Sa’diy menjelaskan tafsir ayat ini, “Semua itu
sudah cukup bagi orang yang menginginkan kebenaran dan berbuat untuk mencari
kebenaran. Namun Allah tidak mencukupkan bagi orang yang tidak merasa
mendapatkan kesembuhan dengan Al Qur’an. Siapa yang merasa cukup dengan Al
Qur’an dan menjadikannya sebagai petunjuk, maka dia mendapatkan rahmat dan
kebaikan. Karena itulah Allah berfirman (yang artinya) ‘Sesungguhnya dalam (Al
Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang
beriman’. Pasalnya, di dalam Al Qur’an bisa didapatkan ilmu yang banyak,
kebaikan yang melimpah, pensucian bagi hati dan ruh, membersikan aqidah dan
menyempurnakan akhlak, di dalamnya terkandung pintu-pintu Ilahi dan
rahasia-rahasia Robbani.”
Saudariku, daripada engkau melenakan dirimu dengan nasyid,
sungguh jauh lebih baik jika kau sibukkan dirimu untuk membaca Al Qur’an,
mentadabburinya, dan menghafalnya. Coba engkau bandingkan antara Al Qur’an
dengan nasyid yang kau sukai, apakah kau mendapatkan ilmu yang banyak, kebaikan
yang melimpah, serta pensucian hati dan ruhmu dari nasyid?
Renungkanlah, apa yang engkau peroleh dari setiap huruf
nasyid jika dibandingkan dengan Al Qur’an yang mana kau bisa mendapatkan
sepuluh kebaikan dari setiap hurufnya. Maka sungguh merupakan suatu kerugian
dan kebodohan jika engkau berpaling dari Al Qur’an dan menyibukkan diri dengan
nasyid.
Saudariku, semoga Allah melembutkan hatimu sehingga engkau
bisa menerima penjelasan di atas. Maka, tinggalkanlah sesuatu yang sia-sia itu,
sekarang juga. Daripada kau buang-buang waktumu untuk mendengarkan nyanyian,
lebih baik kau gunakan untuk belajar ilmu syar’i, menghafal Al Qur’an dan
hadits, basahi lisanmu dengan dzikir kepada-Nya. Cukuplah hadits berikut ini
sebagai hujjah untukmu, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di antara sebagian dari kebaikan keislaman seseorang adalah
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)
Dengan demikian saudariku, dapat kita simpulkan bahwa nasyid
tidaklah mendatangkan manfaat bagi kita kecuali hanya sedikit (terbatas pada
nasyid yang dibolehkan). Islam tidak pernah mensyari’atkan nasyid, akan tetapi
Islam mensyari’atkan untuk berdzikir kepada Allah, mentadabburi al-Qur’an dan
mempelajari ilmu yang bermanfaat. Dan sesungguhnya berdzikir yang paling afdhal
adalah dengan membaca al-Qur’an, sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan Kami turunkan al-Qur’an yang merupakan obat penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Israa’: 82)
Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.
Judul asli : Bingkisan Istimewa untuk Saudariku Agar
Bersegera Meninggalkan Nasyid “Islami” (1 dan 2).
Sumber : www.muslimah.or.id (dengan sedikit penyesuaian
tanpa merubah makna keseluruhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar