Minat:

Rabu, 04 Juli 2012

DEMOKRAFIR


Segala  puji bagi Allah Ta’ala Rabb sekalian alam atas segala limpahan rahmat, maghfirah dan nikmat-Nya. Shalawat dan salam senantiasa dipanjatkan kepada Rasulullah r , para shahabat dan segenap umat Islam yang istiqamah meniti jalan sunah beliau.
Setiap muslim yang mempunyai ghirah keimanan tentu merasa prihatin dengan kerusakan akhlak umat Islam hari ini. Umat Islam telah mengikuti kerusakan akhlak umat-umat sebelumnya, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah r     bersabda :
 ( لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ وَبَاعًا بِبَاعٍ حَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ دَخَلَ جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمْ وَحَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ ضَاجَعَ أُمَّهُ بِالطَّرِيْقِ لَفَعَلْتُمْ).

“ Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa. Sampai apabila seorang di antara mereka memasuki lubang biawak, tentulah kalian akan memasukinya juga. Sampai kalau seorang di antara mereka menggauli ibunya sendiri di jalanan, tentulah kalian akan mengerjakan hal itu juga.” [HR. Al Hakim, Ad Daulabi, Ibnu Nashr dan Al Bazzar. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 3/33 no.1348].

Sebagian pihak mungkin heran dengan sinyalemen as sunah ini, namun ternyata realita umat Islam hari ini lebih parah lagi. Mereka tidak saja mengikuti kebobrokan akhlak umat terdahulu, tapi lebih dari itu mengikuti kekafiran dan kesyirikan mereka dengan bangga :

( وَلَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي باِلْمُشْرِكِيْنَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ).
 “ Dan tidak akan terjadi hari kiamat hingga beberapa kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan hingga beberapa kabilah dari umatku beribadah kepada berhala-berhala.” [HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Jami’ Ash Shagir no. 1773].
Syaikh Abdurahman bin Hasan menerangkan makna hadits ini dengan mengatakan,”Maknanya mereka (beberapa kabilah dari umatku) bersama (bergabung dengan) orang-orang musyrik dan murtad karena membenci orang Islam dan bergabung dengan orang musyrik…Hal ini karena kejahilan mereka terhadap hakekat tauhid dan pembatal tauhid yaitu syirik dan mengambil tandingan selain Allah.” [Fathul Majid Syarhu Kitabi Tauhid hal. 327, Daarul Fikr, 1412 H].
Sinyalemen as sunah ini nampaknya mulai terlihat di zaman ini. Sekian juta umat Islam telah murtad dan keluar dari Islam, baik secara terang-terangan seperti masuk agama Nasrani, atau secara samar-sama seperti menganut ajaran sosialisme, komunisme.
Termasuk di antara musibah kesyirikan dan kekufuran yang diimpor oleh umat Islam dari orang-orang musyrik namun mereka perjuangkan dengan penuh kebanggaan adalah fitnah system demokrasi.
Di zaman sekarang ini, berbicara tentang kelurusan tauhid dan keislaman sama sekali tidak boleh mengabaikan fitnah demokrasi. Sebodoh-bodohnya dan sefasik-fasiknya seorang muslim, ia pasti mengetahui bahwa menzinai ibunya sendiri apalagi secara terang-terangan di jalan raya merupakan dosa besar. Namun betapa pilunya hati muslim yang bertauhid ketika melihat demokrasi sebagai sebuah kekufuran dianggap sebagai system yang paling baik. Musibah apalagi yang lebih besar dari mengganggap racun demokrasi yang membatalkan tauhid sebagai solusi terbaik bagi kehidupan rakyat ?
Di sinilah keanehan itu muncul. Sebuah system kafir bisa dianggap sebagai pahlawan dan solusi oleh berjuta-juta umat Islam, bahkan oleh banyak ulama dan aktivis Islam yang nota bene ikhlash memperjuangkan tegaknya dien Islam.
Ada hal yang cukup menggelitik bila kita membandingkan antara liberalisme dengan demokrasi. Ketika Jaringan Islam Liberal (JIL) muncul mempropagandakan ide-ide kufurnya, spontanitas para tokoh dan aktivis Islam membendung fitnah syubhat mereka. Buku ditulis, dialog interaktif diadakan dan bahkan keluar fatwa mati untuk sebagian kontributor JIL dari para ulama, dengan mengenakan pasal istihza’ bi dien (mengolok-olok, mempermainkan Allah, ayat-ayat-Nya atau Rasul-Nya) atau sabbu bi dien (menghujat, mencela Allah, ayat-ayat-Nya atau Rasul-Nya). Maka, JIL “hanya” merupakan arus dan gerakan segelintir intelektual muslim dengan konsumen mayoritas golongan pendidikan menengah ke atas, dengan reaksi keras umat Islam.
Demokrasi juga mempunyai beberapa kesamaan dengan JIL, seperti (a) Sama –sama merupakan sebuah dien (agama, system kehidupan, way of life). (b). Sama-sama berasal dari  gerakan orang-orang kafir. Demokrasi lahir dari otak orang-orang paganis Yunani kuno dan dihidupkan kembali oleh orang-orang Eropa yang memberontak terhadap penjajahan gereja (Nasrani). Sementara JIL lahir dari gerakan orang-orang Kristen untuk menjatuhkan khilafah Utsmaniyah. (c). Sama-sama membawa ide sekulerisme dan kebebasan tanpa batas (liberalisme). Jadi, keduanya sama-sama berbahaya bagi keutuhan keislaman seorang muslim.
Di samping beberapa kesamaan dengan JIL ini, demokrasi mempunyai banyak kelebihan yang menjadikannya sebagai racun yang sangat halus dan cepat mematikan, melebihi racun JIL. Di antaranya (a) demokrasi mendapat tanggapan hangat, sangat positip dan diterima oleh mayoritas umat Islam sehingga menentang demokrasi dianggap sebagai tindakan menentang arus. (b) Lebih dari itu, demokrasi  juga telah berubah dari sekedar teori menjadi system pemerintahan mayoritas negara dunia.  Eksistensinya telah kokoh selama lebih dari dua ratus tahun, dimulai dari  pasca Revolusi Perancis.  Demokrasi unggul atas JIL dalam teori dan praktek.
Maka, tanpa mengecilkan bahaya JIL, kita memandang demokrasi merupakan virus kufur yang jauh lebih ganas. Sudah semestinya demokrasi juga mendapat perhatian serius dari para tokoh Islam, para alim ulama, para da’I dan pelajar ilmu-ilmu syar’i. Sudah saatnya, kesesatan demokrasi diterangkan kepada kaum muslimin sehingga tidak berjatuhan korban demokrasi yang lebih banyak. Berpijak dari kewajiban dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar inilah, beberapa rekan mahasiswa Ma’had ‘Aly An Nuur Surakarta menulis beberapa patah kata tentang “ Demokrasi Dalam Pandangan Islam” yang ada di tangan saudara-saudara muslim ini,
Tulisan rekan-rekan ini sengaja dibuat ringkas dan padat dengan bahasa-bahasa ringan tanpa menuliskan banyak ayat, hadits dan refferensi sehingga diharapkan bisa dibaca dan dipahami oleh setiap muslim tanpa harus mengernyitkan dahi, menebalkan kaca mata minus atau membutuhkan keseriusan ekstra.
Tulisan yang dikerjakan secara serampangan dan tergesa-gesa ini tentunya sangat jauh dari tuntutan syar’i dan gaya penulisan ilmiah yang memadai. Di sana-sini terdapat kesalahan dan kelemahan baik dari sistematika, gaya penulisan maupun isinya sendiri. Namun kami berharap, semoga usaha yang sedikit dan tergesa-gesa ini terhitung sebagai usaha mencari ridha Allah Ta’ala.” Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabb, supaya Engkau ridha kepadaku.”(QS. Thaha :84). Kepada para alim ulama, tokoh Islam, para pelajar ilmu syar’i dan umat Islam manapun yang mempunyai saran, masukan atau kritikan, hendaklah tidak berberat hati menyampaikannya kepada rekan-rekan mahasiswa Ma’had ‘Aly An Nuur Surakarta, sehingga dakwah dan iqamatul hujjah bisa semakin baik. Kami memohon kepada Allah Ta’ala semoga mengampuni dosa-dosa kami baik yang kami sengaja maupun yang tidak disengaja, semoga usaha yang sedikit ini diterima di sisi-Nya. Amien.


Menangan,  6 Dzulhijah  1423 H
8   Februari 2003 M
























e

Sekilas Tentang Demokrasi

 

A.        Definisi  Demokrasi
Islam akan hancur bilamana umatnya tidak mengerti jahiliyah. Demikian kata shahabat Umar. Supaya gambaran demokrasi bisa dipahami dengan baik, di bawah ini kita ketengahkan sekilas tentang demokrasi.
Secara Etimologi
Kata Demokrasi merupakan gabungan kata dari dua lafadz dalam bahasa Yunani, yaitu  Demos dan Kratos/cratein. Demos berarti rakyat sedangkan Kratos berarti kekuasaan. Jadi demokrasi adalah  “Pemerintahan oleh Rakyat.”[1]
Demokrasi adalah kerakyatan; pemerintahan atas asas kerakyatan ; pemerinyahan rakyat ( dengan perwakilan ).[2]
Secara terminologi
Diketahui dari ucapan Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ( democracy is government of the people, by the people, and for the people).[3]
Maknanya sebagaimana diterangkan oleh Sa’id Abdul Adhim bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang mana mekanisme penyelenggaraan negara dan perundang-undangan serta hukum–hukumnya merupakan hasil dari suara rakyat dan ditetapkan untuk rakyat pula.”[4]
Demokrasi dipakai untuk menyebut system pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pengawas atas kinerja pemerintah melalui wakil-wakilnya di majelis perwakilan rakyat (MPR), di mana MPR mempunyai kewenangan menetapkan undang-undang.[5]

B.       Sejarah  Demokrasi
Konsep demokrasi memang muncul dari dunia Barat, tepatnya pada masyarakat Yunani kuno, ketika salah seorang negarawannya yang bernama Pericles mencetuskan konsep itu pada tahun 431 SM. Ia mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria : pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung, kesamaan di depan hukum serta menghargai pluralisme.
Disamping itu, ada sejumlah filosof  terkemuka lain yang memberikan sumbangan konsep demokrasi seperti Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero. Tentu tak semua mendukung . Socrates misalnya, menolak konsep demokrasi. Ia lebih setuju konsep meritokrasi yang memberikan kekuasaan kepada orang–orang yang cakap memimpin, ketimbang konsep demokrasi yang memberikan kekuasaan kepada sembarang orang.
Konsep demokrasi masa itupun hanya laku di Yunani dan Romawi. Di berbagai negeri Eropa lainnya masih berlaku sistem monarki absolut yang diwariskan berabad-abad. Kedaulatan sepenuhnya ada di tangan raja dan kaisar yang dipercaya sebagai wakil tuhan di muka bumi.
Setelah itu kekuasaan di Eropa diwarnai dengan konsep Teokrasi, sejak agama Kristen merambah dunia itu dan lembaga Gereja melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum-hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keIlahian  dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat.
Konsep demokrasi mulai marak kembali 17 abad kemudian di masa Renaissance, ditandai dengan kehadiran pemikiran filsuf Noccolo Macchiaveli (1467 – 1527), Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632 – 1704), Montesqieu (1689 – 1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712 – 1778), sebagai reaksi atas keotoriteran monarki dan gereja.
Era sesudah itu konsep demokrasi semakin berkembang, utamanya setelah Revolusi Perancis, Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Amerika, kemudian menjalar ke berbagai negara termasuk di Asia dan Afrika, sejalan dengan perolehan kemerdekaan negara-negara di dua benua itu.
Selama perkembangannya, demokrasi mengalami berbagai penafsiran, hingga terdapat berbagai versi  demokrasi, seperti demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi Islam, demokrasi rakyat, hingga demokrasi komunis yang sejatinya otoriter. Dimasa depan, boleh jadi madzhabnya akan bertambah banyak, atau malah akan tergantikan sama sekali oleh sebuah sistem baru.[6]
Padmo Wahjono menulis macam-macam demokrasi sebagai berikut : demokrasi Barat (Liberal), demokrasi Timur (demokrasi Rakyat/Proletar), demokrasi Tengah, demokrasi sederhana. M. Solly Lubis, menulis macam-macam demokrasi adalah : demokrasi Barat dan demokrasi Rusia, demokrasi yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan dan demokrasi yang representatif dengan sistem referendum.
Kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi jenis-jenis demokrasi tersebut antara lain berdasarkan sifat hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif sesuai dengan ajaran Montesquieu yang kemudian terkenal  dengan istilah Trias Politica.
Montesquieu dalam ajaran Trias Politica membedakan adanya tiga jenis kekuasaan dalam negara, yaitu :
q Kekuasaan yang bersifat mengatur, atau menentukan peraturan
q  Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan ; dan
q  Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Ketiga jenis kekuasaan itu harus didistribusikan kepada beberapa organ, dan tiap organ hanya memegang satu kekuasaan saja, yaitu :
q   Kekuasaan yang bersifat mengatur adalah kekuasaan perundang-undanganan diserahkan kepada organ legislatif
q   Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan diserahkan kepada organ eksekutif
q   Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelasksanaan peraturan diserahkan kepada organ yudikatif
Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan penafsiran mengenai ajaran Montesquieu tersebut, khususnya penafsiran mengenai hubungan antara organ yang satu dengan lainnya. Tiga macam perbedaan penafsiran yang dikemukakan oleh Soehino sebagai berikut :
Di Amerika Serikat : ajaran Montesquieu tersebut ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan yang tegas bahkan juga pemisahan organ-organnya. Penafsiran ini kemudian menimbulkan sistem Pemerintahan  Presidensial.
Di Eropa Barat khususnya Inggris menafsirkan bahwa antara organ yang satu dengan organ lainnya terdapat hubungan timbal balik, seperti legislatif dengan eksekutif. Penafsiran demikian berhasil menciptakan suatu sistem pemerintahan yang disebut : Sistem Parlementer;
Di Swiss ditafsirkan bahwa badan eksekutif  hanyalah sebagai badan pelaksana dari apa yang telah digariskan oleh badan legislatif. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Swiss tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Sistem Referendum.
Akibat dari perbedaan penafsiran tersebut maka dikenal tipga tipe demokrasi modern, yaitu :
                (a)      demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas atau sistem presidensial.
                (b)      Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan namun pada badan yang diserahi kekuasaan khususnya legislatif dan eksekutif, terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi atau sistem parlementer
                (c)      Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan dan dengan kontrol yang secara langsung dari rakyat, disebut sistem referendum atau sistem badan pekerja.[7]

C.      Klasifikasi  Demokrasi Berdasar Beberapa  Sisi 

             Tahapan Demokrasi
Menurut tahapannya dikenal dua demokrasi, yaitu :
(a)       demokrasi langsung
(b)       demokrasi tidak langsung.
Dalam demokrasi langsung berarti rakyat ikut secara langsung dalam menentukan policy pemerintahan. Hal ini terjadi pada tipe-tipe negara – negara kota waktu zaman Yunani Kuno, rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk membicarakan berbagai masalah kenegaraan. Pada masa modern ini cara demikian tentu tidak mungkin lagi karena selain negaranya semakin luas dan meliputi banyak warganya, urusan – urusan kenegaraannya pun semakin kompleks. Jadi rakyat tidak lagi ikut dalam urusan pemerintahan secara langsung melainkan melalui wakil – wakil yang ditentukan dalam suatu pemilihan umum ( Pemilu ). Hal ini yang disebut demokrasi tidak langsung.

Bentuk Demokrasi
Pengertian demokrasi dari segi bentuknya, maka bisa diartikan demokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan oleh orang banyak. Demokrasi dari sudut bentuknya disebut demokrasi formal.

             Isi Demokrasi
Pengertian demokrasi dari segi isinya, maka demokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan untuk kepentingan orang banyak. Demokrasi dari sudut isinya disebut demokrasi material.[8]

             Jenis – Jenis Demokrasi Modern
(1).  Demokrasi Modern dengan sistem Presidental
Dalam sistem ini terdapat  pemisahan yang tegas antara fungsi legislatif dan fungsi eksekutif. Juga pemisahan tegas antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Badan legislatif sebagai badan yang memegang kuasa perundang– undangan adalah Badan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya pemisahan demikian maka secara prinsipil badan – badan tersebut bebas dari pengaruh yang satu terhadap yang lain.
Amerika Serikat, yang menganut sistem pemisahan kekuasaan. Badan legislatifnya adalah congress, yang terdiri atas senat (senate) dan Badan Perwakilan Rakyat ( House of Representatives ) yang bekerja sama secara bikameral dalam pembuatan undang – undang termasuk UUD. Senat adalah wakil dari negara – negara bagian. Tiap negara bagian mempunyai dua orang wakil sebagai senator, sedangkan dalam badan perwakilan rakyat masing-masing negara bagian diwakili oleh sejumlah wakil yang banyak berdasarkan jumlah penduduk negara bagian yang bersangkutan. Sejak tahun 1913 baik senat maupun badan perwakilan rakyat, anggota-anggotanya dipilih oleh para pemilih dimasing-masing negara tersebut dalam pemilihan umum.
Susunan dari badan eksekutif terdiri atas seorang presiden sebagai kepala pemerintah, dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam  menjalankan pemerintahan sehari-hari, presiden dibantu pula oleh lembaga legislatif, para menteri  tidak dapat diberhentikan oleh badan perwakilan rakyat. Para menteri tidak mempunya hubungan pertanggung jawaban dengan badan perwakilan rakyat. Yang bertanggung jawab atas tugas-tugas yang dijalankan oleh para menteri adalah presiden sebagai pemberi tugas tersebut. Presiden juga tidak dapat dijatuhkan oleh badan perwakilan rakyat sehubungan dengan tindakan politik negara yang menyimpang selama masa jabatannya kecuali jika presiden melakukan kejahatan-kejahatan dalam empeachment.
(2). Demokrasi Modern dengan sistem Parlementer.
Dalam system ini terdapat hubungan yang erat antara badan eksekutif dan badan legislatif, atau parlemen, atau badan perwakilan rakyat. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada suatu badan yang disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini yang bertanggung jawab kepada parlemen. Jika pertanggung jawaban itu tidak dapat diterima oleh parlemen, maka parlemen dapat menyatakan tidak percaya (mosi tidak percaya) terhadap kebijaksanaan kabinet. Untuk itu kabinet harus mengundurkan diri. Dengan demikian, maka titik berat kekuasaan  ada di tangan parlemen.
Akan tetapi ada kalanya pula bahwa penilaian parlemen terhadap kebijaksanaan kabinet tersebut, berbeda/bertolak belakang dengan penilaian rakyat sendiri. Jika terjadi keadaan demikian, maka parlemen sudah tidak menyuarakan kehendak rakyat lagi atau sudah tidak representatif lagi. Guna menghindari hal itu maka kepala negara mempunyai hak untuk membubarkan parlemen. Jika parlemen bubar maka diadakan pemilihan umum baru.
Seandainya badan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum yang baru ini pun tidak dapat menerima pertanggung jawaban tersebut, maka kabinet harus mundur. Hal ini berarti badan perwakilan rakyat yang mengajukan mosi tidak percaya adalah benar badan perwakilan rakyat yang representatif sebaliknya tindakan kepala negara dalam membubarkan badan perwakilan rakyat sebelumnya adalh tindakan yang tepat. Keadaan ini akan berlaku sebaliknya jika badan perwakilan rakyat hasil pemilu yang baru ini dapat menerima pertanggung jawaban kabinet.
Dalam sistem parlementer, kepala negara tidaklah merupakan pimpinan yang nyata, melainkan sekedar lambang. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara adalah : kabinet baik para menteri secara perorangan maupun secara bersama-sama untuk seluruh kabinet. Bahkan jika kepala negara atau raja yang bersalah yang bertanggung jawab adalah menteri.
Berdasarkan hal itu maka kebijaksanaan pemerintah dan negara ditentukan oleh kabinet, akan tetapi keputusan yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut haruslah merupakan peraturan negara, ditandatangani oleh kepala negara. Untuk menunjukkan bahwa terhadap peraturan yang bersangkutan menteri yang bersangkutan pula yang bertanggung jawab atau tanggung jawab perdana menteri atas nama seluruh anggota kabinet, maka menteri yang bersangkutan atau perdana menteri turut menandatangani keputusan atau peraturan yang bersangkutan. Turut menandatangani tersebut lazimnya disebut Contrasign.
Menurut sejarahnya sistem parlementer ini bErasal dari Inggris. Sistem ini dimulai dengan adanya asas The King Can Do No Wrong ( raja tidak dapat berbuat salah) hal ini tidaklah berarti bahwa raja sama sekali tidak pernah berbuat kesalahan atau kekeliruan justru para menteri yang dipersalahkan. Hal ini berhubungan dengan contrasign kabinet diatas. Jadi atas kesalahan raja, yang bertanggung jawab adalah menteri yang bersangkutan atau kabinet secara keseluruhan. Sebagai asas itu maka muncul sistem parlementer dengan pertanggung jawaban menteri/kabinet kepada parlemen.
             (3). Demokrasi Modern  dengan sistem Referendum.
Sistem Referendum terdapat di Swiss. Badan eksekutifnya merupakan dewan yang disebut Bundesrat. Dewan tersebut adalah bagian dari badan legislatif yang disebut bundesversammlung yang terdiri atas Nationalrat dan StadenratNationalrat adalah badan perwakilan Nasional, sedangkan Stadenrat adalah perwakilan dari negara – negara bagian. Negara-negara bagian itu sendiri disebut  Kanton.
Mekanisme pelaksanaan pemerintah adalah sebagai berikut : mula – mula yang terbentuk adalah Bundesversammlung yang terdiri atas Nationalrat dan standerat. Nationalrat dipilih secara langsung oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum. Masa jabatan Nationalrat adalah 4 tahun. Selain itu setiap Kanton mengirimkan dua orang wakil untuk duduk dalam standerat. Cara pemilihan da masa jabatan masing-masing anggota standerat ditentukan oleh kanton masing-masing. Setelah Bundesversammlung terbentuk, maka badan itulah berfungsi  sebagai badan legislatif  yang membuat UU, termasuk UUD.
Setelah UUD terbentuk, lalu bundesversammlung memilih 7 orang anggotanya untuk duduk dalam Bundesrat guna melaksanakan UU tersebut. Sebelum UU itu dilaksanakan, dimintakan terlebih dahulu pendapat rakyat melalui referendum. Ada tiga bentuk referendum, yaitu:
1.     Referendum obligatoir (wajib) yaitu untuk berlakunya suatu undang-undang yang terpenting atau UUD, atau UU lain yang menyangkut hak rakyat, Bundesrat harus meminta pendapat rakyat terlebih dahulu dengan mengisi formulir. Jika lebih banyak suara yang menyetujui UU dapat berlaku, demikian juga sebaliknya.
2.     Referendum fakultatif (tidak wajib) yaitu terhadap UU trtentu Bundesrat tidak langsung meminta pendapat rakyat, melainkan diumumkan saja untuk jangka waktu tertentu. Jika dalam kurun tertentu tidak ada reaksi dari sejumlah orang tertentu maka UU itu langsung mampunyai kekuatan mengikat , sebaliknya jika sebagian besar rakyat mengajukan keberatannya agar diadakan referendum, maka terhadap UU yang bersangkutan dimintakan pendapat rakyat terlebih dahulu sebelum diberlakukan
3.     Referendum consultatif yaitu referndeum mengenai soal-soal teknis yang biasanya wakil rakyat sendiri kurang mengerti tentang materi UU yang dimintakan persetujuannya.
Klasifikasi jenis-jenis demokrasi tersebut diatas adalah klasifikasi berdasarkan penafsiran terhadap pandangan Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan dalam teori Trias Politica. Demokrasi baik dalam arti formal maupun dalam arti material, kedua-duanya mengandung unsur kebebasan dan persamaan. Antara kedua unsur tersebut ternyata semua negara di dunia ini tidak memberikan tekanan yang sama. Ada negara yang lebih menekankan pada unsur kebebasannya sebaliknya ada negara  yang lebih menekankan soal persamaannya.
Bertalian dengan hal tersebut, Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, menulis bahwa ada dua paham yang penting, yaitu : demokrasi konstitusional dan demokrasi  rakyat, dan ditambah lagi aliran ketiga, yaitu : demokrasi Pancasila.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar