Minat:

Rabu, 04 Juli 2012

Kata-kata Pilihan dari Sayyid Quthb Masalah Wala’ dan Bara’

Asy-Syahid (insya Allah) Sayyid Quthb –rahimahullah- didalam tafsir Fie Zhilaalil Qur’an berkata :

"Sesungguhnya tidak akan pernah berkumpul dalam hati seseorang, keimanan yang sebenarnya kepada Allah dengan perwalian kepada musuh-musuh-Nya yang diajak kepada Kitabullah untuk memutuskan perkara di antara mereka, namun mereka berbalik dan berpaling, maka dari itu datang peringatan keras ini. Ini adalah ketetapan pasti yang menyatakan keluarnya seorang muslim dari keislamannya, jika dia berwali kepada orang yang tidak ridha Kitabullah memerintah dalam kehidupan, sama saja apakah perwalian tersebut berbentuk kecintaan hati, atau menolongnya atau minta pertolongan kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

"Janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia telah berlepas diri dari Allah dalam hal apapun, kecuali jika kalian berpura-pura (dengan lisan bukan dengan niat dan hati) kepada mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah (segala urusan) kembali." (Qs Ali ‘Imran : 28)

Demikianlah, dia sudah berlepas diri dari Allah dalam hal apapun, baik dalam hubungan ataupun nisbat ataupun agama ataupun akidah, ataupun ikatan ataupun perwalian; maka dia jauh dari Allah, terputus hubungannya dengan Allah secara total.

Langkah pertama di atas jalan dakwah adalah berbedanya seorang da’i (dari orang-orang jahiliyah) dan perasaan asingnya secara total dari jahiliyah, paradigma, cara hidup dan perbuatannya. Keterasingan yang tidak mentolelir pertemuan di tengah jalan, dan pemisahan yang mustahil bisa bekerjasama dengannya, kecuali jika penganut jahiliyah telah berpindah dari kejahiliyahan mereka secara total kepada Islam.

Tak ada kompromi ataupun win-win solution (solusi jalan tengah), ataupun pertemuan di tengah jalan, meskipun jahiliyah memakai baju Islam atau mengaku-aku Islam.

Keterasingan dari jahiliyah dalam perasaan seorang da’i ini merupakan batu pondasi pertama, perasaannya bahwa dia beda dengan mereka, mereka punya agama dan dia punya agama, mereka punya jalan dan diapun punya jalan, dia tak tahan berjalan bersama mereka selangkahpun di jalan mereka. Tugasnya adalah membuat mereka berjalan di atas jalannya, tanpa menjilat atau meninggalkan prinsip-prinsip agamanya, baik sedikit ataupun banyak. Jika mereka menolak, maka pilihannya adalah berlepas diri secara total, pisah secara total dan keputusan  pasti lagi jelas. (لكمدينكم و لي دين )

Sesungguhnya seorang muslim dituntut untuk berlaku toleran terhadap golongan Ahli Kitab, akan tetapi dia dilarang berwala’ (berloyalitas) kepada mereka, dalam artian  saling menolong dengan mereka dan beraliansi dengan mereka. Keluguan macam apa dan kelalaian macam apa, kalau sampai kita mengira bahwa kita dan mereka memiliki satu jalan untuk kita tempuh dalam rangka mengokohkan agama melawan orang-orang kafir dan orang-orang atheis apabila mereka berperang bersama orang-orang Islam..!

Tak ada disana front agama yang mana Islam berjuang bersama mereka melawan atheisme. Di sana ada agama, yakni agama Islam; dan di sana non agama, yakni selain Islam. Kemudian non agama ini, pokok akidahnya adalah samawi (datang dari langit) akan tetapi ia telah diselewengkan,  atau akidah aslinya adalah paganis dan tetap berada di atas paganismenya, atau atheisme yang menolak agama-agama, berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi semuanya berbeda dengan Islam, ada aliansi persekutuan antara mereka dengan Islam dan tidak ada pula hubungan wala’..!

Sesungguhnya Islam telah memberi beban kepada seorang muslim supaya dia melakukan hubungannya dengan semua manusia di atas prinsip akidah. Jadi wala’ dan bara’ itu tidak ada, baik dalam ide pemikiran seorang muslim maupun dalam aktifitas geraknya, melainkan dalam urusan akidah. Maka dari itu, tak mungkin wala’ itu tadi, yaitu tolong menolong antara orang muslim dengan orang non muslim, bisa tegak; sebab kedua kelompok manusia ini tak mungkin saling tolong menolong dalam urusan Akidah. Tak kan mungkin walau menghadapi atheisme sekalipun --sebagaimana yang dipersepsikan oleh sebagian orang awam di antara kita dan sebagian orang yang tidak membaca Al Qur’an --. Bagaimana mereka bisa saling tolong-menolong, sementara tak ada prinsip bersama di antara mereka untuk dijadikan landasan bagi mereka untuk saling tolong menolong?!

Jadi mereka yang mengusung bendera ideologi ini, maka bisa dikata mereka belum mengimaninya sama sekali, tak ada sesuatu dalam diri mereka, dan mereka belum mewujudkan sesuatu di dunia nyata, selama belum terlaksana di dalam hati mereka, pemisahan total antara mereka dengan kelompok-kelompok manusia yang tidak mengusung bendera mereka..!

Al Qur’an turun untuk menyebarkan janji yang menyertai seorang muslim dalam setiap pertempuran yang mereka terjuni dengan akidahnya, dan untuk mengukuhkan pemisahan total antara dia dengan setiap orang yang tidak bergabung kepada jama’ah Islam dan tidak berdiri di bawah benderanya. Pemisahan yang tidak melarang sikap toleran dan santun, sebab ini adalah sifat seorang muslim sepanjang waktu; akan tetapi ia melarang wala’ yang tidak boleh ada pada hati seorang muslim kecuali kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Kesadaran dan pemisahan yang harus diwujudkan oleh seorang muslim di setiap bumi dan di setiap generasi.

Ini adalah persimpangan jalan, perasaan seorang muslim tidak akan larut dalam pemisahan total antara dia dengan setiap orang yang menempuh jalan selain jalan Islam, dan antara dia dengan setiap orang yang tidak mengusung bendera Islam, kemudian dia punya kemampuan setelah itu melakukan amal yang amat berharga dalam Harakah Islam yang besar, yang tujuan pertamanya adalah menegakkan tatanan riil di dunia nyata. Tatanan yang berbeda dengan semua tatanan-tatanan yang ada.

Kemudian anak manusia terbelah menjadi dua golongan: Golongan Allah dan golongan syetan, dan menjadi dua bendera: bendera kebenaran dan bendera kebatilan. Boleh jadi seseorang termasuk golongan Allah, dan dia berdiri di bawah bendera kebenaran; dan boleh jadi dia termasuk golongan syetan, dan dia berdiri di bawah kebatilan. Kedua golongan ini berbeda, tak ada hubungan nasab atau perkawinan, atau keluarga atau kerabat, atau negeri atau ras atau fanatisme atau kebangsaan, sesungguhnya hubungan tersebut adalah akidah, akidah saja!

Allah ‘Azza wa Jalla melarang seorang mu’min menjadikan manusia yang jati diri/identitas serta manhaj mereka berlainan dengannya sebagai tempat menaruh kepercayaan dan tempat meminta pertimbangan. Berkali-kali pengalaman telah memberikan tamparan pahit pada kita, akan tetapi belum sadar-sadar juga. Berkali-kali kita membongkar tipu daya dan persekongkolan jahat mereka yang menggunakan berbagai macam baju, akan tetapi kita tidak juga mau mengambil pelajaran. Berkali-kali mulut mereka melontarkan kata-kata berbisa menampakkan kedengkian mereka. Kendati demikian, kita masih saja kembali membuka dada kita untuk menerima mereka, serta menjadikan sebagian mereka sebagai kawan hidup dan kawan jalan.

Sikap hormat kita dan kekalahan mental kita telah sampai pada tingkatan di mana kita menghormati mereka dalam akidah kita, sehingga kita menjauhkan diri dari menyampaikan akidah kita. Dan menghormati mereka dalam kehidupan kita, sehingga kita tidak mau menegakkannya di atas prinsip-prinsip Islam. Dan menghormati mereka atas tindakan mereka memalsukan sejarah dan menghapuskan rambu-rambunya, supaya kita berhati-hati di dalamnya, untuk tidak menyinggung konflik permusuhan apapun yang pernah terjadi antara para pendahulu kita dengan musuh-musuhnya yang senantiasa menunggu-nunggu kelengahan..!

Oleh karena itu, pantaslah kita menerima sanksi hukuman yang ditimpakan Allah atas orang-orang yang menentang perintah-Nya, makanya tidaklah aneh jika kita terhina, lemah, dan tunduk (kepada musuh). Maka dari itu kita mengalami kesusahan yang memang disukai oleh musuh-musuh kita terhadap kita. Inilah dia Kitabullah, ia mengajari kita sebagaimana ia telah mengajari jama’ah Islam yang pertama, supaya kita mengenyahkan tipu daya mereka dan menolak gangguan mereka, dan selamat dari kejahatan yang mereka sembunyikan di dalam dada mereka:

"Hai orang-orang beriman, jangalah kalian menjadikan orang-orang di luar kalangan kalian menjadi teman kepercayaan kalian (karena) mereka tiada henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi kalian. Mereka suka apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikam oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh Allah telah menerangkan kepada kalian ayat-ayat Kami, jika kalian memahaminya." (Qs Al ‘Imran : 118)

Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi kelompok Islam di setiap muka bumi dari ancaman terjerumus dalam adzab  :  أو يلبسكم شيعاً ويذيق بعضكم بأس بعض  "Atau mencampur baur kalian dalam golongan (yang saling bertentangan) dan sebagian kalian merasakan kepada (sebagian) kalian keganasan sebagian yang lain", kecuali kelompok ini melepaskan diri dari akidah dan mentalitas, serta cara hidup Ahli Jahiliyah dari kaumnya sehingga Allah mengidzinkan tegaknya Daarul Islam yang mana mereka berlindung padanya..!

Apabila tidak terwujud pemisahan dan pembedaan ini, maka mereka berhak mendapat ancaman Allah ini, yakni: Bercampur aduk satu golongan dengan golongan yang lain dalam komunitas masyarakat. Sehingga mereka tidak mengenal dengan jelas jati dirinya sendiri, dan tidak mengenal dengan jelas jati diri manusia di sekitarnya. Dan saat itulah akan menimpanya adzab yang terus bertahan lagi berkepanjangan tadi, tanpa sedikitpun mereka bisa mengecap kemenangan yang dijanjikan Allah.

Sesungguhnya posisi pemisahan dan pembedaan ini boleh jadi memberi beban kepada kelompok Islam dengan berbagai pengorbanan dan kesulitan, hanyasaja pengorbanan dan kesulitan ini sama sekali tidak akan lebih berat dan lebih besar dibandingkan dengan penderitaan dan adzab yang menimpanya akibat tercampur aduknya posisi mereka dan tidak bisa dibedakannya mereka dengan musuh, dan akibat larut dan membaurnya mereka di tengah kaumnya dan masyarakat jahiliyah di sekitarnya..!

Ras dan kebangsaan, bahasa dan tanah air, dan semua makna-makna di atas tak punya bobot sama sekali dalam timbangan Allah.  Sesungguhnya di sana ada satu timbangan yang dengan timbangan itu dapat didefiniskan nilai-nilai dan dapat diketahui keutamaan manusia:__ إن أكرمكم عند الله أتقاكم__"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian". Kemuliaan yang hakiki adalah kemuliaan menurut pandangan Allah, dan Dia menimbang bobot kalian dengan pengetahuan dan pengertian-Nya terhadap nilai-nilai dan timbangan-timbangan tersebut __إن الله عليم خبير __ "Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengerti".

Demikianlah gugurlah semua pemisah-pemisah, gugur semua nilai-nilai, dan naik satu timbangan dengan satu nilai, dan kepada timbangan ini anak manusia berhukum, dan kepada nilai ini, persengketaan di antara manusia akan kembali dalam timbangan tersebut.

Demikianlah tersembunyi semua sebab-sebab pertikaian dan permusuhan di muka bumi, dan menjadi murah semua nilai-nilai yang digandrungi manusia, dan nampak sebab besar dan nyata bagi persatuan dan ta’awun:Yakni, Uluhiyah/ketuhanan Allah bagi semua manusia, dan diciptakannya mereka dari satu asal, sebagaimana naik satu bendera, yang semuanya harus berlomba-lomba agar bisa berdiri di bawahnya: Yakni bendera takwa di bawah naungan Allah. Inilah dia bendera yang Islam telah mengangkatnya untuk menyelamatkan anak manusia dari penyakit-penyakit fanatisme bangsa, fanatisme bumi, fanatisme kabilah, fanatisme rumah, yang mana semuanya berasal dari jahiliyah dan bermuara kepadanya. Yang berbaju dengan berbagai macam baju, dan menamakan diri dengan berbagai nama, tapi semuanya jahiliyah, telanjang dari Islam." –selesai- (Disadur dari “Sifat Thaifah Manshurah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar