Ketahuilah ! Barangsiapa
memata-matai rahasia-rahasia dan keadaan (informasi intern) kaum muslimin,
terkhusus lagi memata-matai (menginteli rahasia dan informasi) para mujahidin
untuk diserahkan kepada musuh-musuhnya dari orang-orang kafir durjana, --- baik
mereka kafir asli ataukah kafir murtad---, maka ia telah menjadi kafir seperti
mereka, ia telah memberikan loyalitas terbesar (al-muwalat al-kubra)
kepada mereka yang mengeluarkannya dari Islam. Hukumnya, ia dibunuh dalam
kondisi kafir.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ
الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ {8} يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ
إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ {9}
Di antara manusia ada
yang mengatakan:"Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian",
padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak
menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri
sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. Al Baqoroh : 8 - 9).
Termasuk penipuan mereka
kepada orang-orang mukmin adalah mereka menampakkan – amalan – Islam, mereka
mengatakan bahwa mereka adalah mukmin, kemudian mereka menginteli para
mujahidin untuk kepentingan musuh-musuh mereka dari kalangan Thoghut dan
orang-orang kafir durjana lainnya.
Allah Ta’ala befirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ وَلاَتَجَسَّسُوا وَلاَيَغْتَب
بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ {12}
“ Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang “. (QS. 49:12)
Ditinjau dari faktor
pendorongnya, tajassus (memata-matai) terbagi menjadi dua :
-
Pertama
- : Tajassus Khusus, yaitu tajasus yang didorong oleh
faktor berlebih-lebihan dan senang mencari-cari tahu rahasia orang lain. Tujuan
si pelaku adalah bisa bersenang-senang – dalam majlisnya baik majlis khusus
maupun umum – dengan berbicara panjang lebar membeberkan kehormatan dan rahasia
orang lain, dan membanggakan diri karena merasa memiliki data-data dan bukti
yang menunjukkan kebenaran klaim dan ucapannya. Oleh karena itu, larangan
berbuat tajassus disusul dengan larangan berbuat ghibah (menggunjing), karena
ghibah adalah hasil yang pasti dari tajasus. Setiap orang yang melakukan
tajasus, pasti akan berbuat ghibah terhadap orang lain.
-
Kedua
- : Tajassus umum, yaitu
memberikan informasi dan memberikan laporan kepada Thoghut dzolim dan selain
mereka dari kalangan orang-orang kafir dan musyrik. Perbuatan ini termasuk
bentuk al-muwalah “Loyalitas“. Ini
merupakan bentuk tajassus yang paling besar dosanya. Perbuatan ini
termasuk kufur akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam –
menjadikannya murtad -.
Adapun
ayat-ayat yang menerangkan larangan tajassus mencakup kedua bentuk tajasus : -
tajasus khusus dan tajasus umum. Bentuk tajassus yang umum itu lebih dilarang
daripada yang khusus. Maka berhati-hatilah !.
Dalam hadits shahih,
Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ
تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا
“ Jauhilah prasangka
buruk, karena prasangka buruk adalah pembicaraan yang paling bohong. Dan
janganlah melakukan tajassus, dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain
dan janganlah saling membenci. Dan jadilah kalian bersaudara “. (HR. Bukhori ).
مَنْ أَكَلَ بِمُسْلِمٍ أَكْلَةً فَإِنَّ اللهَ يُطْعِمُهُ مِثْلَهَا
مِنْ جَهَنَّمَ، وَمَنْ كُسِيَ ثَوْباً بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ فَإِنَّ اللهَ يَكْسُوهُ مِنْ جَهَنَّمَ، وَمَنْ قَامَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ
مَقَامَ رِيَاءٍ وَسُمْعَةٍ فَإِنَّ اللهَ يَقُومُ مَقَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“ Barangsiapa yang
memakan satu suap makanan dari hasil (mendzalimi, termasuk menginteli) seorang
muslim,, Allah akan memberinya makanan yang serupa dari neraka jahannam.
Dan barangsiapa memakai
selembar pakaian dari hasil (mendzalimi, termasuk menginteli) seorang muslim,
Allah akan memberinya pakaian dari neraka Jahannam.
Barangsiapa bersikap
riya’ dan sum’ah – menperdengarkan amalnya – kepada orang mukmin, maka Allah
mendirikan ia pada tempat riya’ dan sum’ah pada hari kiamat “. (Hadits Shohid, dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrod no 179. dan Shohih
Sunan Abi Dawud no. 4084 ).
Dalam hadits di atas
terdapat ancaman terhadap orang-orang yang memberikan laporan tentang kondisi,
tempat dan pergerakan kaum muslimin kepada para Thoghut dzolim,…demi sedikit
imbalan ---cukup untuk makan dan pakaian--- yang dilemparkan oleh Thaghut
kepada mereka, sebagai imbalan atas setiap laporan yang mereka tulis tentang
kaum muslimin. Sungguh ….. Alangkah banyaknya jiwa yang lemah seperti ini
bercokol di negeri kita, orang-orang yang menjual agama dan akhiratnya dengan
dunia orang lain !.
Rosulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
مَنِ اسْتَمَعَ
إِلَى حَدِيْثِ قَوْمٍ وَهُمْ يَفِرُّونَ مِنْهُ، صُبَّ فِي أُذُنَيْهِ الآنِكُ
“ Barangsiapa
mencuri-curi dengar pembicaraan suatu kaum padahal kaum itu tidak menyukainya,
maka dituangkan pada telinga orang yang mencuri-curi dengar itu, cairan Al Anik “. (Hadits Shohih. Dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrod no. 883). Yang
dimaksud dengan Al Anik adalah “ Cairan timah putih “. Ini – siksaan –
bagi orang yang mencuri-curi dengar karena suka berlebih-lebihan dan
kekanak-kanakan. Lantas bagaimana dengan orang yang mencuri-curi dengar untuk
menginteli untuk kepentingan musuh-musuh kaum muslimin dari orang-orang kafir
dan musyrik ??!.
Rosulullah shollallahu
‘alaihi wasallam besabda :
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ
اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوا
عَوْرَاتَهُمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتَهُمْ يَتَّبِعُ اللهُُ
عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعُ اللهُ عَوْرَتَهُ يُفَضِّحُهُ فِي بَيْتِهِ
“ Wahai orang yang yang
beriman hanya di bibir saja, dan tidak sampai masuk ke dalam hatinya. Janganlah
kalian meng-ghibah kaum muslimin, dan janganlah kalian mencari-cari (meneliti)
aurot (rahasia) mereka, karena sesungguhnya siapa saja yang meneliti aurot
mereka, maka Allah akan menmbongkar
aurotnya, dan siapa saja yang diteliti aurotnya oleh Allah maka akan
disingkap-Nya di dalam rumahnya “.
(Hadits Shohih. Dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4083).
Orang yang mencari-cari
rahasia kaum muslimin dan menginteli mereka untuk kepentingan para thoghut
kafir, lebih layak untuk munafik dan kehilangan iman dari hatinya. Maka, menginteli
rahasia-rahasia dan masalah-masalah intern kaum muslimin untuk kepentingan
musuh- orang-orang Islam dari kalangan kaum musyrik durjana, tidak mungkin
dilakukan kecuali oleh orang munafik yang rendah yang telah tenggelam dalam
kemunafikan dan penipuan !.
Rosulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ حَمَى مُؤْمِناً مِنْ
مُنَافِقٍ بَعَثَ اللهُ مُلْكاً يَحْمِي لَحْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَارِ
جَهَنَّمَ، وَمَنْ رَمَى مُسْلِماً بِشَيْءٍ يُِريْدُ شَيْنَهُ بِهِ حَبَسَهُ
اللهُ عَلَى جُسْرِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“ Barangsiapa yang
menjaga seorang mukmin dari orang munafik, maka Allah mengutus seorang malaikat
untuk menjaga dagingnya besok pada hari kiamat dari – jilatan - api Jahannam.
Dan barangsiapa menuduh seorang muslim dengan sesuatu tuduhan dengan tujuan
mencelanya, Allah akan menahan dia di atas jembatan Jahannam sampai ia keluar
dari yang dikatakan “. (Hadits Shohih. Dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4086 ).
Ini dalam menuduh
seorang muslim dengan suatu tuduhan untuk mencelanya. Lalu bagaimana dengan
orang yang menuduh seorang muslim dengan tujuan untuk dibunuh atau dipenjara di
dalam penjara-penjara para Thoghut dzolim itu ???!
Salamah bin Al Akwa’
radiyallahu 'anhu berkata : “Sesungguhnya ada seorang mata-mata orang musyrik
yang datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, dia menginteli selama
dalam perjalanan, kemudian duduk disisi para shahabat Rosul, kemudian ia
menyelinap. Maka Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “
Cari dan bunuhlah dia“. Salamah bin
Al Akwa’ berkata : “ Aku dahului para shahabat kemudian aku bunuh mata-mata
tersebut, dan aku ambil sSalabnya – barang rampasan pribadi – dan Rosulullah
memberikan salab itu kepadaku “. (Muttafaqun ‘Alaih ).
Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam juga memerintahkan untuk membunuh seorang wanita yang membawa surat
Hatib bin Abi Balta’ah yang hendak diberikan kepada orang-orang kafir Quraiys
pada masa Fatuh Makkah – kemenangan di Makkah -, tanpa memberinya tenggang
waktu untuk bertaubat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih yang
diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqos, beliau berkata : “ Ketika hari Futuh
Makkah, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan keamanan
kepada seluruh manusia kecuali empat orang laki-laki dan dua orang perempuan “.
( Hadits Shohih. Dalam Shahih Sunan An Nasa’I, no. 3791).
Diantara dua perempuan yang tidak
diampuni tersebut adalah perempuan yang telah membawakan surat Hatib kepada
orang kafir Quraiys, namanya Sarah.
Imam Sahnun berkata : “
Jika ada orang Islam yang mengirim surat – untuk membocorkan rahasia kaum
muslimin - kepada ahlul harbi maka ia dibunuh tanpa dimintai taubat, dan
harta-bendanya untuk ahli warisnya “.
Dalam kitab Al
Mustakhrojah Ibnul Qosim berkata tentang Jasus : “ Jasus itu dibunuh dan
tidak dimintai taubat, kedudukan dia seperti orang Zindiq “. ( Disebutkan
dalam Kitab Aqdhiyatur Rosul Shollallallahu ‘alaihi wasallam, karya Muhammad
bin Faroj, hal 191 ).
Ibnu Taimiyyah berkata
dalam Majmu' Al Fatawa 28/109 : “ Imam Malik dan sebagian pengikut imam
Ahmad berpendapat boleh membunuh Jasus – intel/mata-mata – “.
Jasus itu dibunuh di
atas kekafiran dan ridah (dianggap kafir dan murtad), tidak di atas dasar
lainnya, Wallahu A’lam .
SYUBHAT DAN BANTAHAN :
Ada seorang yang
mengatakan : “ Sesunguhnya Hatib bin Abi Balta’ah telah mengirim surat kepada
orang kafir Quraiys, dia menyampaikan rahasia penyerangan Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam bersama tentara Islam pada Futuh Makkah. Ini adalah termasuk
perbuatan Tajassus dan loyalitas. Akan tetapi Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam
tidak mengkafirkan Hatib bin Abi Balta’ah, dan tidak pula memerintahkan untuk
membunuhnya. Maka bagaimana kita bisa mensingkronkan antara kedua pendapat itu
?
Saya –pengarang- jawab :
Perbuatan yang dilakukan
oleh Hatib bin Abi Balta’ah adalah kekufuran. Akan tetapi Hatib tidak
dikafirkan disebabkan ada beberapa Mawani’ – faktor penghalang- yang
menghalangi jatuhnya vonis kafir atas dirinya. Insya Allah, penjelasannya akan
kami terangkan nanti
Adapun perbuatan yang
dilakukan oleh Hatib itu termasuk kekufuran dan nifaq akbar. Itu berdasarkan
kepada perkataan Umar bin Khottob rhodhiyallahu ‘anhu di depan Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam, seperti yang disebutkan dalam kitab Shohihain : “ Wahai
Rosulallah ! Hatib telah berkhisanat kepada Allah dan Rosul-Nya serta
orang-orang mukmin. Biarkanlah aku memenggal batang leher orang munafik ini “.
Dan disebutkan dalam riwayat yang lain “Karena sesungguhnya ia telah kafir.
Sesungguhnya ia telah munafiq, karena ia telah melanggar janji dan membantu
musuh-musuh anda melawan anda “.
Pada saat itu Nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam mendengarkan perkataan Umar. Beliau tidak
mengingkari bahwa yang telah diperbuat
oleh Hatib bin Abi Balta’ah adalah termasuk bentuk al-muwalah (loyalitas kepada
orang-orang musyrik), kekafiran dan kemunafikan, yang harus dipenggal batang
lehernya.
Yang diingkari oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam adalah sikap Umar yang memvonis Hatib sebagai
orang munafik dan kafir, karena adanya beberapa pertimbangan (faktor-faktor
penghalang) yang menghalangi jatuhnya vonis tersebut atas diri sahabat Hatib.
Adapun sebab Hatib tidak
kafir dan tidak terjatuh dalam kemunafakan, adalah karena beberapa pertimbangan
berikut :
1.
Sesungguhnya ia melakukan perbuatan itu karena ta'wil (salah
memahami dalil). Dia tidak tahu –atau menyangka--- bahwa yang dikerjakan itu
dapat membawa kepada tingkatan kafir dan keluar dari Islam, atau itu dapat
membahayakan keimanannya. Dia tidak bermaksud menipu dan mengkhianati
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu kita dapatkan dia
langsung menjawab ketika ditanya oleh Nabi Shollallahu ‘alihi wasallam tentang
sebab ia mengirin surat kepada orang kafir Quraiys. – Dia berkata : “ Wahai
Rosulullah ! Jangan tergesa-gesa memfonis bahwasanya aku adalah orang yang
bersekongkol dengan orang Quraiys, dan aku juga bukan dari klompok mereka.
Sebagian muhajirin yang bersama anda mempunyai kerabat di Makkah, sehingga bisa menjaga keluarga dan harta benda mereka.
Karena saya tidak mempunyai nasab (kerabat di Makah yang bisa melindungi harta
dan keluarga saya di Makah), saya ingin mengambil bantuan mereka untuk menjaga
kerabatku disana. Sungguh ! Aku lakukan ini bukan karena kafir dan murtad, dan
juga tidak karena rela dengan kekafiran setelah Islam “. Dan dalam riwayat
lain dia mengatakan “ Sungguh ! Aku tidak merubah dan mengganti agamaku. Aku
pun tidak melakukan penipuan dan kemunafikan wahai Rosulullah. Aku tidak
berubah kafir dan tidak bertambah dalam diriku untuk Islam kecuali semakin
cinta “.
Maka Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “ Ia telah berbicara jujur kepada kalian.
Janganlah kalian mengatakan kepada Hatib kecuali kebaikan. Sesungguhnya ia telah
ikut serta dalam perang Badar, tahukah kalian bahwa Allah telah menjamin
orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar “. Allah berfirman :
اِعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ
فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“ Berbuatlah
sekehendak kalian karena Aku telah mengampuni dosa kalian “. Maka pada saat
itu juga melelehlah air mata Umar, dan beliau berkata : “ Allah dan Rosulnya
lebih mengetahui “.
Ibnu Hajar berkata dalam
kitab Fathul Bari 8/503 : “ Adapun udzur Hatib adalah karena beliau salah
memahami dalil (salah persepsi, ta'wil) bahwa perbuatannya itu disangka
tidak membahayakan “.
Aku – pengarang –
katakan : “ Ta'wil merupakan salah satu penghalang (mawani') penjatuhan vonis
kafir atas diri seseorang. Maka perhatikanlah ! “.
2.
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam mengerti kebenaran maksud dan
batin Hatib melalui wahyu. Oleh karena itu beliau bersabda : “Ia telah
berbicara jujur kepada kalian “. Hal ini ---pemberitahuan lewat
wahyu--- tidak akan pernah terjadi pada selain Rosul shollallahu ‘alaihi
wasallam. Oleh itu kita dapati Umar mesikapi Hatib dengan berdasarkan
dhohirnya, yang dhohirnya menunjukkan pengkhianatan, loyalitas, kekafiran dan
nifaq. Maka Umar mengatakan kalimat-kalimat di atas.
Jika ditanyakan : Hukum
itu dibangun atas dasar hal yang dhohir. Lalu atas dasar apa Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam memperlakukan Hatib menurut batin dan maksud Hatib ?
Aku – pengarang –
katakan : Dalam masalah penegakkan hudud, penjatuhan ta'zir dan
pemberian hukuman terhadap orang-orang yang berbuat salah, Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam hanya melakukannya manakala kondisi dhahir mewajibkan
penjatuhan vonis had atau hukuman…sekalipun
beliau mengetahui bahwa batin dan hal yang tersembunyi dari hal-hal tersebut
berbeda dengan dhohirnya. Sebagaimana hubungan beliau bersama orang-orang
munafik, beliau mensikapi mereka sesuai dhohir mereka (sebagai kaum muslimin),
sekalipun beliau shollallahu ‘alaihi wasallam mengetahui kenifakan dan
kekufuran dalam batin mereka.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata dalam kitab As Shorim Al Maslul : 354 : “ Nabi ‘alaihis
sholatu wassalam tidak menegakkan hudud hanya berdasarkan pengetahuannya saja,
tidak juga berdasar khabar wahid – kesaksian seorang – saja, bukan juga hanya
dengan berdasar wahyu saja, dan tidak juga dengan indikasi dan fakta penunjuk
semata, sampai alasan yang mewajibkan jatuhnya vonis had itu mantap dengan
adanya bukti atau pengakuan…".
Adapun dalam masalah
yang berkaitan dengan memaafkan kesalahan (ketergelinciran) sebagian shahabat
radiyallahu 'anhum, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjaga keselamatan
batin dan tujuan (si pelaku), yang diberitahukan kepada beliau oleh wahyu,
selama hal itu memungkinkan. Ini karena beliau suka menerima udzur dan
memaafkan ketergelinciran (kesalahan), terkhusus bila kesalahan ini dilakukan
oleh para sahabat mulia yang mereka telah merasakan ujian dan jihad fie
sabilillah !
Karena sesunguhnya menjaga keselamatan batian dalam permasalahan
ini adalah untuk kemaslahatan manusia yang melakukan kesalahan. Ini berbeda
dengan masalah penghukuman dan koreksian, karena tujuannya untuk menegur dan
menyiksa si pelanggar, oleh karenanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam tidak
menjatuhkannya kecuali dengan adanya bukti nyata (kuat).
DaIil kami dalam masalah
ini adalah sikap Nabi shollallahu ‘akaihi wasallam kepada Hatib. Dalil yang
semisal dengan ini adalah kasus seorang lelaki dari anshor yang telah berkata
kepada nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. ----dalam Shahih Bukhari--- : “ Saya
melihat anda lebih mencintai anak lelaki bibimu (nepotisme)“. Ini terjadi ketika Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam memutuskan agar Zubair bin Awam
mengairi kebunnya, baru kemudian mengalirkan air ke kebun tetangganya, si
lelaki Anshar tersebut.
Aku – perngarang –
katakan : Perkataan seorang sahabat
anshor kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam,“ Saya melihat anda lebih
mencintai anak lelaki bibimu (nepotisme)“. Ucapan ini adalah ucapan kufur
akbar, dan celaan terhadap hukum nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Alasan yang
menjadikan Nabi mentolerir kesalahan orang Anshor tadi adalah beliau mengetahui
maksud dan batin orang tersebut adalah baik, hanya saja ia keseleo lidah
dan keceplosan. Setelah Rosulullah sholllallahu ‘alaihi wasallam wafat,
tidak seorangpun mengetahui maksud batin dan hati seseorang.
Imam Ibnu Al-‘Arobi
berkata dalam tafsir Ahkam Al-Qur'an 5/267 : “ Setiap orang yang menuduh Rosulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam salah (tidak adil) dalam memutuskan perkara, maka ia telah kafir. Akan
tetapi sahabat anshor ini tergelincir dalam sebuah kesalahan. Maka Nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam berpaling (tidak mempermasalahkan) dari
ketergelinciran tersebut, dan bahkan memaafkan
kesalahannya, karena beliau
mengetahui kebenaran akidah sahabat orang Anshor tersebut, bahwa orang itu
alpa. Dan tidak ada yang dapat mengerti urusan hati seseorang setelah nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam wafat “.
Penjelasan sikap Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam dalam mensikapi kesalahan yang dilakukan sahabat Anshor ini,
berlaku juga atas sikap beliau dalam mensikapi kesalahan Hatib bin Abi
Balta’ah. Wallahu a’lam.
Lalu jika ditanyakan : “
Apakah setelah nabi shollallahu ‘alaihi wasalllam wafat, adakah seseorang yang
boleh mentolerir kesalahan yang mencapai
derajat kekafiran, dengan dasar benarnya maksud dan batin pelaku kesalahan itu
?
Aku – pengarang –
katakan : Tidak bisa….. karena wahyu sudah terputus. Dan inilah yang
dimaksudkan oleh Umar rhofhiyallahu ‘anhu dalam perkataannya : “Pada masa Nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam, manusia dihukum (disikapi) berdasar wahyu. Adapun
sekarang, wahyu telah terputus, maka
kami akan memutuskan perkara kalian berdasarkan amalan dhohir kalian yang
tampak pada kami. Barangsiapa menampakkan perilaku yang baik kepada kami, kami
akan mempercayai dan mendekatkannya kepada kami. Kami tidak bertanggung jawab
dengan yang dirahasiakan olehnya, Allahlah yang akan menghisab amal yang
disembunyikannya. Dan barangsiapa menampakkan perilaku yang buruk kepada kami,
kami tidak akan mempercayai dan membenarkan (ucapannya), sekalipun ia
mengatakan kebaikan batinnya yang tersembunyi “.
Oleh karena itu kami –
pengarang – katakan : Barangsiapa
menampakkan kekafiran yang nyata kepada kita --– dan paa dirinya tidak terdapat
penghalang jatuhnya kekafiran yang diakui oleh syar'i --- maka jatuhkan vonis
kafir atas dirinya.
Perkataan Umar : “Pada masa Nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam, manusia dihukum (disikapi) berdasar wahyu,
maksudnya adalah dalam pemaafan kesalahan, bukan dalam penerapan hukum hudud
dan penjatuhan hukuman. Maka hati-hatilah !
3.
Termasuk tanda-tanda kejujuran Hatib rhodhiyallahu ‘anhu adalah,
bahwa beliau menjawab pertanyaan nabi shollalllahu ‘alaihi wasallam dengan
jujur, ia tidak menutup-nutupi perbuatannya. Ini menunjukkan kebenaran batin
dan maksud Hatibnya, menunjukkan ia berlepas diri dari kenifakan…Berbeda dengan
kasus seorang perempuan pengantar surat Hatib. Perempuan itu telah ingkar dan
bohong ketika ditanya tentang isi surat yang dibawanya. Perempuan itu berkata :
“ Aku tidak membawa surat apa pun “. Maka ini menambah dosa dan
kekufurannya.
Kalaulah memang Hatib
itu munafik, ia pasti akan berbohong, karena dari ciri-ciri orang munafik
adalah berkata bohong. Namun karena ia berkata jujur, maka itu menunjukkan
benarnya iman dan batinnya, dan ia bukanlah orang munafik. Sikap ini mempunyai
dampak yang riil dalam menyelamatkan dan pemaafan kesalahannya.. Sebagaimana
yang disebutkan dalam sebuah hadits shohih yang dikeluarkan oleh Turmudzi : “Sesungguhnya
jujur itu ketenangan dan bohong itu keraguan “.
Dalam hadits Ka’ab bin
Malik, dalam kisahnya tidak mengikuti perang Tabuk bersama Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam. Dia berkata : “ Wahai Rosulullah ! Sesungguhnya yang akan
menyelamatkan aku dari – siksa – Allah adalah kejujuran-ku. Dan bukti dari
taubatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur, kecuali
perkataanku yang telah lampau. Demi Allah ! Sungguh tidak ada kenikmatan yang
diberikan Allah kepadaku setelah memberi hidayah islam kecuali sikap jujurku
kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, aku tidak akan berbohong
kepadanya, maka jika aku berbohong kepadanya hancurlah aku seperti hancurnya
orang-orang yang bebohong kepada beliau “. Sesungguhnya Allah berfirman
kepada orang-orang yang berbohong ketika diturunkan wahyu yang menjelekkan
pekataan salah seorang – dari shahabat -. Allah berfirman :
سَيَحْلِفُونَ باِللهِ لَكُمْ إِذَا انقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ
لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ
جَهَنَّمُ جَزَآءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ {95} يَحْلِفُونَ لَكُمْ
لَتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِن تَرْضَوْا عَنْهُمْ فِإِنَّ اللهَ لاَيَرْضَى عَنِ
الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ {96
“ Kelak mereka bersumpah
kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada meraka, supaya kamu
berpaling dari mereka. Maka berpalinglah kepada mereka; karena sesungguhnya
mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa
yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha
kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka
sesungguhnya Allah tidak ridha kepada oang-orang yang fasik itu “. (QS. At
Taubah : 95 - 96)
Berbeda dengan kasus
tiga orang yang jujur perkataannya – salah satu dari tiga orang itu adalah
Ka’ab bin Malik -. Allah berfirman :
لَّقَد تَّابَ اللهُ عَلَى
النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ
الْعُسْرَةِ
“ Sesungguhnya Allah telah menerima taubat
Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam
masa kesulitan “. Sampai firman Allah :
وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ
خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ اْلأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ
عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لاَّمَلْجَأَ مِنَ اللهِ إِلآَّ إِلَيْهِ
ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ {118}
“ ….. dan terhadap tiga orang yang
ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah
menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah
sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada
tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah
menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya
Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar “. (QS. At Taubah : 117 -:119).
Coba bayangkan !
bagaimana kejujuran mereka dapat menyelamatkan mereka, dan meringankan
kesalahan mereka. Dan bagaimana kebohongan itu dapat menjadikan alasan-alasan
mereka tidak diterima dan merusak
akhirat mereka ???!.
Hal ini harus
diperhitungkan ketika membicarakan kasus Hatib bin Abi Balta'ah dan sebab-sebab
yang dapat memaafkan kesalahannya.
4.
Hal
yang dapat membantu pemaafan kesalahan Hatib adalah bahwasanya beliau termasuk
orang yang ikut perang Badar. Perang Badar adalah kebaikan agung yang dapat
menghilangkan berbagai perbuatan buruk, melepaskan kesalahan, mengundang sangkaan baik kepada pelakunya (veteran
Badar), dan dapat memperluas ruang takwil (persangkaan baik kaum muslimin)
kepada mereka, saat mereka berbuat salah !.
Oleh karena itu kita
dapatkan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kebaikan ahli Badar.
Tahukah kalian apakah kebaikan ahli badar ? Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “ Sesungguhnya Allah memperlihatkan – kebaikan- kepada pelaku
perang Badar “. Maka Allah berfirman : “ Berbuatlah sekendak kalian,
karena Aku telah mengampuni dosa kalian “.
Dalam hadits shohih
muslim, Rosulullah bersabda :
إِنِّي َلأَرْجُو أَنْ لاَ يُدْخِلَ النَّارَ أَحَدٌ ـ إِنْ شَاءَ
اللهُ ـ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْراً وَالْحُدَيْبِيَةَ
“ Sesungguhnya aku
mengharap – kepada Allah – tidak memasukkan neraka – insya Allah – bagi pelaku
Perang Badar dan Hudaibiyyah “.
Adapun Hatib telah
mengumpulkan dua kebaikan, yaitu beliau telah mengikuti perang Badar dan
Hudaibiyyah.
Kita dapat menyimpulkan
bahwa ketika seseorang banyak dan besar kebaikannya, maka ia telah terlebih
dahulu merasakan ujian dari Allah. Maka ketika hendak melapangkan haknya dalam
ruang takwil dan pelepasan kesalahan, maka pada saat itu terjadilah syubhat.
Wallahu a’lam.
5. Pembocoran rahasia yang diperbuat oleh Hatib itu tidak dikerjakannya
terus menerus. Beliau hanya sekali itu saja melakukan kesalahan tersebut semasa
hidupnya, dan sebab-sebab lainnya telah kami sebutkan diatas. Ini berbeda
dengan kondisi intel. Bagi seorang intel, tajassus – menginteli – itu adalah
pekerjaan yang terus menerus ia lakukan sepanjang waktu. Tidak ada yang ia
pikirkan selain selalu berusaha bagaimana dapat menghasilkan informasi,
sehingga ia bisa mengirimkan informasi itu kepada tuan yang mengirimnya atau
orang yang ia bekerja dengannya – seperti dengan thoghut -.
Jelas ada perbedaan
antara orang yang baru melakukan kesalahan sekali saja…dengan orang yang
melakukan kesalahan terus-menerus, dari segi bukti-bukti atas karakter dan
hakikat pelakunya. Oleh karena itu, akan menjadi kesalahan yang fatal jika
kasus kesalahan Hatib dihukumi dengan hukum dan sifat para jasus – intel –
tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.
Waba’du.
Oleh karena keseluruhan
sebab-sebab ini, maka telah kami sampaikan pada awal pembicaan bahwasanya
perbuatan Hatib itu disebut kekufuran, dan termasuk bentuk loyalitas yang
besar, hanya Hatib tidak dikafirkan secara personil, dan vonis kafir tidak
boleh dijatuhkan kepadanya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Kalimat terakhir :
Kepada orang-orang yang
menganggap remeh persoalan agamanya, dan ringan melakukan tajassus kepada kaum
muslimin untuk kepentingan para thoghut dengan mengatas namakan kepentingan
agama, yang telah beralasan dengan
menggunakan fatwa-fatwa sebagian orang yang lahiriahnya ulama namun sejatinya
para penyesat,…demi sedikit imbalan yang diberikan kepada mereka atas setiap
laporan yang mereka berikan kepada badan intelijen thoghut.
Janganlah mereka
menyangka berada di atas kebaikan, atau di atas kebenaran !!!
Hendaklah mereka selalu
mengingat, akan ada suatu hari di mana mereka akan dimintai ertanggung jawaban
atas perbuatan yang mereka lakukan. Hari itu, Allah akan mengadili mereka untuk
mengembalikan hak hamba-hamba-Nya yang dizalimi.
Disebutkan dalam hadits
shohih bahwa nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ أَعَانَ ظَالِماً بِبَاطِلٍ
لِيُدْحِضَ بِبَاطِلِهِ حَقاً فَقَدْ بَرِئَ مِنْ ذِمَّةِ اللهِ
وَذِمَّةِ رَسُولِهِ
“ Baransiapa yang
membantu orang dzolim dengan sebuah kebatilan untuk membantah kebenaran dengan
kebatilannya, maka ia telah berlepas diri dari tanggungan Allah Ta’ala dan
tanggungan rosulul-Nya “. ( HR. Thobroni. Dalam Silsilah Hadits Shohih no. 1020 ).
Lalu bagaimana dengan
orang yang membantu para Thoghut dzolim untuk memenjarakan, membunuh dan
mengkoyak-koyak kehormatan kaum muslimin
?.
Betapa banyak laporan zalim
yang dtulis oleh seorang intel hina telah menyebabkan pemenjaraan puluhan
pemuda bertauhid ---selama belasan tahun---di penjara para Thaghut, bahkan
menjadi sebab pembunuhan dan penggantungan mereka ?
Disebutkan dalam hadits
shohih riwayat Muslim dan selainnya :
اَلْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ
الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ .. وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“ Orang mukmin adalah
orang yang bisa dipercaya oleh kaum muslimin atas keamanan jiwa dan harta benda
mereka (dari gangguannya). Dan orang muslim adalah orang yang kaum musimin
selamat dari gangguan lisan dan tangannya “.
Orang yang kaum muslimin
tidak bisa percaya atas keselamatan jiwa mereka dari gangguannya, dan kaum
muslimin tidak selamat dari kejahatan tangan dan lisannya, menurut nash hadits
ini tidak disebut orang yang beriman, juga tidak disebut orang Islam.
Maka takutlah kepada
Allah wahai hamba Allah … berhati-hatilah kalian ! Jangan sampai kalian menjadi
intel yang memata-matai kaum muslimin untuk kepentingan para thoghut dzolim,
berdebat untuk membela mereka, atau
berperang membela mereka. Jika hal itu kau lakukan, kau akan binasa dan merugi
di dunia dan akhirat.
Abdul Mun’im Musthofa
Halimah
( Abu Bashir )
WWW. Abubaseer.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar